Karya non ilmiah sangat bervariasi topic dan cara penyajiannya, tetapi isinya tidak didukung fakta umum, ditulis berdasarkan fakta pribadi, umumnya bersifat subyektif, gaya bahasanya bias konkret atau abstrak, gaya bahasanya formal dan popular.
Karya non ilmiah bersifat:
1. Emotif : kemewahan dan cinta lebih menonjol, tidak sistematis, lebih mencari keuntungan dan sedikit informasi.
2. Persuasif: penilaian fakta tanpa bukti. Bujukan untuk meyakinkan pembaca, mempengaruhi sikap cara berfikir pembaca dan cukup informative.
3. Deskriptif : pendapat pribadi, sebagian imajinatif dan subjektif.
4. Kritik tanpa dukungan bukti.
Karya non ilmiah bersifat:
1. Emotif : kemewahan dan cinta lebih menonjol, tidak sistematis, lebih mencari keuntungan dan sedikit informasi.
2. Persuasif: penilaian fakta tanpa bukti. Bujukan untuk meyakinkan pembaca, mempengaruhi sikap cara berfikir pembaca dan cukup informative.
3. Deskriptif : pendapat pribadi, sebagian imajinatif dan subjektif.
4. Kritik tanpa dukungan bukti.
Wacana Non Ilmiah
Sebuah penggalan novel dari http://kang-petruk.blogspot.com
Menjadi Ibu
Ruangan kubus yang penuh dengan aroma obat ini membuatku tak dapat menyusun syaraf-syaraf dalam kepalaku. Atau sekedar mengingat bagaimana kemudian aku dipenjara di dalam sini. Tubuhku seperti berkembang tanpa belulang, begitu lemas rasanya. Sedangkan kepalaku perlahan menjadi pening dan hampir retak.
Sekali lagi, tak dapat kuingat bagaimana kemudian tubuhku berbaring di tempat tidur ini dengan air kehidupan yang mengalir melalui selang plastik yang dipaksakan masuk dalam nadiku. Yang kuingat hanya suatu pagi aku bangun dan melakukan rutinitas sebagai seorang wanita karier. Bangun, sedikit menengok suami dan putriku kemudian berangkat ke kantor. Mungkin menjadi sedikit berbeda ketika dibandingkan dengan seorang ibu pada umumnya yang sepagi itu akan menyiapkan sarapan dan seragam untuk putrinya. Aku berbeda, itu jelas.
Bagiku, menjadi ibu sepenuhnya adalah sebuah kutukan. Artinya harus menggunakan waktuku yang begitu berharga untuk mengurus masalah-masalah kecil. Aku memilih untuk mempercayakan pekerjaan rumah pada pembantu-pembantuku, karena itulah aku rela membayar mahal mereka. Karena aku mendeklarasikan diri sebagai wanita karier, maka tugasku harus lebih banyak di kantor, mengurusi masalah-masalah yang jauh lebih besar dari sekedar menyiapkan sarapan. Ini sudah menjadi pilihan yang kuberhalakan.
Pelan-pelan kuhilangkan kebencian pada ruangan asing ini dan kuamati tiap jengkalnya. Tidak sebagus kamar tidurku, tapi cukup nyaman untuk tubuhku yang lemah. Kamar yang dicat warna biru muda dengan ornamen dedaunan dan bunga yang dilukis secara borjuis. Lampu yang tak cukup berbinar, yang terus diam dan tak malu melihat cahaya siang yang pelan-pelan menggantikan cerahnya.
Pojok ruang dengan bunga dan vas yang warna-warni, serta berdiri tabung oksigen yang kedinginan.
...
Anisa dan Mas Rio kemudian memelukku. “Maaf ya sayang, Mama tidak selalu ada buat kalian. Mama selalu asyik dengan kehidupan kantor, melupakan kasih sayang kalian”, sambil kupeluk orang-orang tersayangku.
Kasih sayang seorang ibu yang selama ini kucari, justru kudapatkan dari keluarga kecilku, Mas Rio dan Anisa. Mereka telah mencontohkan itu lebih dari cukup meski waktu yang kusisakan kepada mereka sangat sedikit. Tapi mereka tetap mencurahkan kasih sayang secara utuh kepadaku.
...
Sekali lagi, tak dapat kuingat bagaimana kemudian tubuhku berbaring di tempat tidur ini dengan air kehidupan yang mengalir melalui selang plastik yang dipaksakan masuk dalam nadiku. Yang kuingat hanya suatu pagi aku bangun dan melakukan rutinitas sebagai seorang wanita karier. Bangun, sedikit menengok suami dan putriku kemudian berangkat ke kantor. Mungkin menjadi sedikit berbeda ketika dibandingkan dengan seorang ibu pada umumnya yang sepagi itu akan menyiapkan sarapan dan seragam untuk putrinya. Aku berbeda, itu jelas.
Bagiku, menjadi ibu sepenuhnya adalah sebuah kutukan. Artinya harus menggunakan waktuku yang begitu berharga untuk mengurus masalah-masalah kecil. Aku memilih untuk mempercayakan pekerjaan rumah pada pembantu-pembantuku, karena itulah aku rela membayar mahal mereka. Karena aku mendeklarasikan diri sebagai wanita karier, maka tugasku harus lebih banyak di kantor, mengurusi masalah-masalah yang jauh lebih besar dari sekedar menyiapkan sarapan. Ini sudah menjadi pilihan yang kuberhalakan.
Pelan-pelan kuhilangkan kebencian pada ruangan asing ini dan kuamati tiap jengkalnya. Tidak sebagus kamar tidurku, tapi cukup nyaman untuk tubuhku yang lemah. Kamar yang dicat warna biru muda dengan ornamen dedaunan dan bunga yang dilukis secara borjuis. Lampu yang tak cukup berbinar, yang terus diam dan tak malu melihat cahaya siang yang pelan-pelan menggantikan cerahnya.
Pojok ruang dengan bunga dan vas yang warna-warni, serta berdiri tabung oksigen yang kedinginan.
...
Anisa dan Mas Rio kemudian memelukku. “Maaf ya sayang, Mama tidak selalu ada buat kalian. Mama selalu asyik dengan kehidupan kantor, melupakan kasih sayang kalian”, sambil kupeluk orang-orang tersayangku.
Kasih sayang seorang ibu yang selama ini kucari, justru kudapatkan dari keluarga kecilku, Mas Rio dan Anisa. Mereka telah mencontohkan itu lebih dari cukup meski waktu yang kusisakan kepada mereka sangat sedikit. Tapi mereka tetap mencurahkan kasih sayang secara utuh kepadaku.
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar